Thursday, November 30, 2006

STOVIA : dari Juru Cacar sampai Pendidikan Tinggi Kedokteran

Munculnya STOVIA sebagai sebuah sekolah Dokter di Jawa telah melalui proses yang panjang. Berawal dari kebutuhan pemerintah sejak permulaan abad ke-19 dalam menangani masalah kesehatan di Indonesia. Maka kemudian pemerintah mulai mendidik anak-anak pribumi untuk menjadi juru cacar yang dilakukan oleh para pendidik vaksinasi. Hal itu dilakukan mengingat penyakit cacar merupakan penyakit yang banyak diderita rakyat Indonesia. Menjelang pertengahan abad ke-19 pendidikan yang menghasilkan juru cacar ini diubah dan dijadikan secara reguler.
Atas dasar keputusan pemerintah tanggal 2 Januari 1849 didirikan sekolah ”ahli kesehatan” yang lulusannya akan diperbantukan kepada rumah sakit militer di Batavia. Sekolah itu dibuka tahun 1851 dengan jumlah murid 13 orang. Pendidikan juru cacar ini lama belajarnya semula 1 tahun tapi diperpanjang menjadi 2 tahun dengan penambahan beberapa mata pelajaran sehingga lulusannya dapat mengenal penyakit-penyakit yang banyak terdapat di Indonesia dan dapat melakukan pembedahan secara ringan. Setelah dididik selama 2 tahun para siswa kemudian diuji oleh panitia yang terdiri dari dokter dan apoteker militer dan kalau lulus mendapat gelar “dokter jawa”.
Pada tahun 1864 lama studinya diperpanjang lagi menjadi 5 atau 6 tahun. Dengan penambahan lama belajar diharapkan para lulusannya nanti dapat memperoleh ilmu kesehatan yang lebih dalam. Selama itu pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu dan sejak tahun 1875 diberikan dalam bahasa Belanda. Untuk murid-murid yang berasal dari sekolah yang tidak menggunakan bahasa pengantar Belanda diadakan pendahuluan selama 2 sampai 3 tahun untuk belajar bahasa Belanda. Dan sejah tahun itu pula gelar dokter jawa diubah menjadi “Ahli Kesehatan Bumiputera” (Inlandsch Geneeskundige).
Untuk masuk sekolah dokter jawa ini seorang murid harus menyelesaikan sekolah rendah eropa (ELS) dahulu. Sejak tahun 1891sekolah rendah eropa terbuka untuk orang-orang Indonesia. Namun kenyataannya hanya orang-orang kayalah yang mampu membayar uang sekolah. Oleh karena pemerintah kolonial sangat antusias dengan adanya sekolah ini maka kemudian pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh pendidikan sebagai dokter jawa diperbolehkan masuk sekolah rendah eropa tanpa bayar bagi yang orang tuanya berpenghasilan dibawah 50 gulden sebulan.
Hal itu jelas telah memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan atau priyayi untuk memperoleh pendidikan. Namun karena tradisi dari para priyayi yang cenderung memandang rendah pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka sedikit saja priyayi yang menunjukkan perhatiannya pada sekolah ini. Sehingga sekolah ini lebih banyak menarik anak-anak orang dari kalangan priyayi rendah saja.
Sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia masa itu dan semakin meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan, maka pada tahun 1902 diadakan reorganisasi pada tubuh sekolah dokter jawa. Lama belajar diperpanjang lagi menjadi 7 tahun dan gelarnya diubah menjadi “dokter bumiputera” (Inlandsch Arts) dan sekolahnya diganti dengan nama STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen). Setelah reorganisasi , sekolah ini tetap menggunakan system yang sama seperti sebelumnya yaitu menerima lulusan sekolah rendah eropa (ELS) dan berbahasa pengantar Belanda. Namun kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO.
Pada tahun 1913 selain STOVIA di Jakarta, di Surabaya juga berdiri sekolah baru semacam STOVIA dengan nama NIAS (Nederlands Indische Artsen School) dengan syarat-syarat dan lama belajar yang sama. Sehingga pada tahun tersebut ada dua buah sekolah kedokteran di Jakarta dan Surabaya.
Dalam perkembangannya STOVIA pada tahun 1927 secara berangsur-angsur mulai ditransformasikan menjadi sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool). Yang lama belajarnya 6 tahun dan menerima lulusan AMS atau HBS. Dan 9 tahun kemudian STOVIA dihapuskan dan tinggalah NIAS yang tetap menjalankan tugas sebagai sekolah kedokteran setengah akademis.
Melalui sekolah kedokteran inilah para mahasiswa pribumi yang pada umumnya berasal dari kalangan elite menengah kebawah dapat mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi, cara berpikir, pola hidup dan yang terpenting adalah organisasi modern ala barat. Melalui gemblengan sekolah STOVIA ini kemudian lahirlah kesadaran nasiaonal dikalangan priyayi baru dengan mendirikan organisasi modern untuk memperjuangkan kemajuan bangsanya yaitu Budi Utomo (1908). Dan yang sangat menarik adalah bahwa pendidikan tinggi kedokteran di Indonesia berawal dari pendidikan para juru cacar.

No comments: